BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penemuan
- penemuan fosil di dunia banyak disumbang oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan
Indonesia merupakan wilayah tropis dan mempunyai iklim yang cocok di huni
manusia kala itu. Penemuan –penemuan fosil sangat berguna bagi perkembangan
ilmu sejarah sekarang ini. Baik dalam hal menjelaskan kehidupan manusia kala
itu,. Hewan yang pernah hidup dan bagaimana evolusi manusia hingga menjadi
sekarang ini. Indonesia banyak menyumbang fosil manusia –manusia purba. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan perkembangan manusia purba dari
mulai bagaimana menemukannya,cirri-ciri dari manusia purba dan tempat
ditemukanya,sampai evolusi manusia mulai dari pertama kali muncul hingga
menjadi manusia sekarang ini.
Dilihat
dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia mempunyai
banyak sejarah peradapan manusia mulai saat manusia hidup. Dengan begitu ilmu
sejarah akan terus berkembang sejalan dengan fosil- fosil yang ditemukan.
Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih jelas dan terperinci mengenai fosil-
fosil manusia purba yang ditemuakan di Indonesia. Penemuan –penemuan terbaru
juga termasuk di dalamnya. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui perkembangan
fosil terbaru yang ditemukan seperti Homo Moernman. Dijelaskan pula tempat
penemuan dan bentuk penemuannya agar isi makalah ini dapat dipercaya
kebenaranya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Fosil Manusia Purba di Indonesia
Penemuan
manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat
yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. penggalian dilakukan dengan
teknik arkeologi agar fosi tidak mengalami kerusakan. setelah digali, maka
fosil akan dibersihkan dengan bahan-bahan kimia tertentu, agar unsur-unsurnya
tdk mengalami kerusakan. Langkah selanjutnya adalah merekonstruksi / menyusun
lagi fosil-fosil seprti pada saat ditemukan.
Penelitian
ilmiah mengenai fosil dimulai pada akhir abad ke-19. Penelitian Paleoantropologi
manusia purba di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu 1889-1909,
1931-1941, dan 1952 hingga sekarang.
Eugone
Dubois menduga bahwa manusia purba pasti hidup di daerah tropis. Menurutnya,
hal ini disebabkan perubahan iklim sepanjang sejarah tidak banyak dan di daerah
tropis pula monyet serta kera masih banyak yang hidup. Ketika datang ke
Indonesia, Eugone Dubois mulai menyelidiki gua-gua di Sumatera Barat. Namun,
hanya tulang-tulang subresen yang ditemukan.
Penemuan
Eugena Dubois : Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di
Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten
yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.yang menyebabkan Dubois
memindahkan kegiatan penelitiannya ke daerah Jawa. Fosil kiriman itu dinamai Homo Wajakensis,
termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju). homo
sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar 15.000
hingga 150.000 tahun yang lalu. Temuan Dubois pertama, 1889, berupa fosil atap
tengkorak Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus
berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi,
, tahun 1891. Volume otak Pithecanthropus erectus diperkirakan sekitar 770 -
1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia purba yang ditemukan
tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta sebagian tulang
tengkorak.Temuan lainnya adalah Pithecanthropus Mojokertensis, ditemukan di
daerah Mojokerto dan Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo.
Penemuan
Selenka dan Tim : Pada 1907-1908, Selenka dan regunya melakukan penyelidikan
dan penggalian di Trinil. Namun, penggalian tersebut tidak membuahkan hasil
fosil manusia purba. Yang ditemukan berupa fosil hewan dan tumbuhan yang dapat
menambah referensi mengenai kehidupan manusia Pithecanthropus Erectus.
Penemuan
Ter Haar dan Tim : Antara 1931-1933, Ter Haar dan Oppenoorth melakukan
pencarian di Ngandong, Blora. Dari hasil pencarian, didapat penemuan yang
sangat penting berupa tengkorak dan tulang kering Pithecantropus Erectus. Satu
seri tulang tengkorak yang besar jumlahnya dalam masa pendek dan berada di satu
tempat yang tidak begitu luas.
Penemuan
Tjokrohandojo : Pada 1926, Tjokrohandojo yang bekerja di bawah pimpinan Duyfjes
menemukan fosil manusia purba anak-anak di daerah Perning, sebelah utara
Mojokerto. Penemuan ini adalah pertama kali ditemukannya fosil tengkorak
anak-anak di lapisan bawah Pleistosen Bawah.
Penemuan
Von Koenigswald : Antara 1936-1941, Von Koenigswald menemukan fosil-fosil
rahang, gigi, dan tengkorak Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus juga
fosil hewan di daerah Sangiran, Surakarta. Penemuan ini terjadi di lapisan
Pleistosen Tengah maupun Pleistosen Bawah pada satu tempat dan memperlihatkan
adanya variasi morfologis. Perbedaan variasi tersebut, menurut para ahli,
memiliki perbedaan pada tingkat rasial, spesies, maupun genus. Yaitu,
varian-varian yang berasal dari masa lalu. Penemuan lain Fosil tengkorak di
Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning berusia 5
tahun, Mojokerto. . Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis), ditemukan oleh Von
Koenigswald dan Weidenreich di tempat-tempat antara lain : Ngandong Blora,
Sangiran dan Sampung macan (Sragen), lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 –
1934.
Penemuan lain tentang manusia Purba ditemukan
tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo
Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil,
Ngandong dan Patiayam (kudus).
Penelitian
tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang
dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang
aliran Bengawan Solo.
Semua
hasil penemuan fosil-fosil manusia purba pada tahap pertama disimpan di Leiden
dan temuan tahap kedua disimpan di Frankfurt (Jerman Barat). Akibat adanya
Perang Dunia II, pencarian Paleontropologi tertunda. Tahap ketiga baru dimulai
setelah Indonesia merdeka dan penemuan yang didapat disimpan di negara tempat
fosil tersebut ditemukan, Indonesia.
B.
Jenis
dan Ciri fosil manusia purba Indonesia dari yang tertua :
Jenis
fosil manusia purba di Indoesia :
Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran).
Pithecanthropus Robustus (Trinil). Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus)
(Trinil). Pithecanthropus Dubius (Jetis). Pithecanthropus Mojokertensis
(Perning). Homo Javanensis (Sambung Macan). Homo Soloensis (Ngandong). Homo
Sapiens Archaic. Homo Sapiens Neandertahlman Asia. Homo Sapiens Wajakensis
(Tulungagung). Homo Modernman.
Ciri-ciri
manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
1.
Ciri
Meganthropus :
·
Hidup
antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
·
Badannya
tegak
·
Hidup
mengumpulkan makanan
·
Makanannya
tumbuhan
·
Rahangnya
kuat
·
Tulang
pipi tebal
·
Terdapat
tonjolan kening yang mencolok
·
Tonjolan
belakang yang tajam.
·
Tidak
memiliki dagu.
2.
Ciri
Pithecanthropus :
·
Hidup
antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
·
Hidup
berkelompok
·
Hidungnya
lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
·
Mengumpulkan
makanan dan berburu
·
Makanannya
daging dan tumbuhan
·
Tinggi
badan sekitar 165 -180 cm
·
Volume
otak 750- 1350 cc
·
Bentuk
tubuh dan anggota badan tegap
·
Alat
pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat
·
Bentuk
graham besar dengan rahang yang sangat kuat
·
Bentuk
tonjolan kening tebal
·
Bentuk
hidung tebal
·
Bagian belakang kepala tampak menonjol
3.
Ciri
jenis Homo :
·
Hidup
antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
·
Muka
dan hidung lebar
·
Dahi
masih menonjol
·
Tarap
kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya
C.
Pembagian
Jaman kehidupan Awal Manusia
Zaman
dimana adanya kehidupan manusia sehingga merupakan zaman terpenting. Dan zaman
ini dibagi lagi menjadi dua zaman yaitu yang disebut dengan zaman Pleistocen
dan Holocen atau Alluvium dan Dilluvium adalah pembagian zaman menurut Ilmu
Geologi. Jaman ini terdapat pada Zaman Neozoikum.
Jaman
ini dibagi menjadi jaman tersier dan kuartier.Jaman tersier berlangsung sekitar
60 juta tahun,binatang yang berkembang adalah mamalia/binatang menyusui.Jaman
kuartier adalah yang terpenting karena jaman ini dimulai adanya kehidupan
manusia.Dan jaman kuartier masih dibagi lagi ke dalam jaman Pleistosen dan
Holosen.Jaman Pleistosen(Dilluvium) berlangsung kira-kira 3 juta tahun sampai
10 ribu tahun yang lalu.Jaman Pleistosen dimulai dengan meluasnya lapisan es di
kedua kutub bumi yang disebut jaman glasial,kemudian diselingi dengan jaman
mencairnya lapisan es disebut dengan jaman interglasial,keadaan ini berlangsung
silih berganti sampai empat kali.Kalau di daerah tropis jaman glasial berupa
jaman hujan(jaman pluvial),dan diselingi dengan jaman kering(interpluvial).Pada
jaman glasial,permukaan air laut turun dengan drastis,sehingga banyak dasar
laut yang kering menjadi daratan.Di Indonesia dasar laut yang kering di sebelah
barat disebut dengan dataran Sunda,dan menyebabkan kepulauan Indonesia bagian
barat menjadi satu dengan benua Asia,sedangkan yang di sebelah timur disebut
dengan dataran Sahul,dan menyebabkan kepulauan Indonesia di sebelah timur
menyatu dengan benua Australia.Sehingga ini semua mempengaruhi jenis
flora-faunanya juga.Manusia yang hidup di jaman Pleistosen adalah jenis Homo
erectus.Jaman Pleistosen berakhir kira-kira 10 ribu tahun sebelum
Masehi.Kemudian diikuti datangnya jaman Holosen(Alluvium) yang masih
berlangsung hingga sekarang.Dan jaman ini muncul manusia jenis Homo
sapiens,yang diduga menjadi nenek moyang manusia sekarang. Pembagian lapisan Dilluvium menurut V. Koeningswalds ada tiga :
1. Pleistosen Bawah / Lapisan Jetis (
20 juta – 15 juta tahun yang lalu)di lapisan ini ditemukan fosil manusia purba
Meganthropus PaleoJavanicus oleh V.
Koeningswald. Selain itu juga ditemukan fosil Pithecantropus Mojokertensis dan
Pithecantropus Robustus
2. Pleistosen Tengah / Lapisan Trinil (
1,5 juta – 500.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil manusia purba
Pithecantropus/Homo Erectus dan Pithecanthropus Robustus.
3. Pleistosen Atas/Lapisan Ngandong ( 100.000 – 50.000 tahun
yang lalu)ditemukan fosil manusia purba Homo Soloensi ( Homo Sapiens Soloensis
) dan Homo Wajakensis ( Homo Sapiens Wajakensis)
D.
Homo
Florensiesis, Manusia Purba Kerdil dari Flores
Rentang fosil :
Pleistosen Akhir
Klasifikasi ilmia
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas :
Mammalia Ordo : Primates
Famili :
Hominidae Genus : Homo
Spesies : H.
floresiensis Nama binomial : Homo floresiensis
Homo
floresiensis (“Manusia Flores“, dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan
oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan
volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum
sepenuhnya membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau
Flores, pada tahun 2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1
sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia moderen
(sekitar 100 cm).
Para
pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen
menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi
kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan
alat-alat di sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari
94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
1) Penemuan
a. Liang Bua, tempat ditemukannya seri
fosil H. floresiensis.
Liang
Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan
menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah
ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk
mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan
makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau,
beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan
tingkat peradaban penghuninya.
Kerja
sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak
peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim
Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional
(dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari
Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada
kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman
itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian
disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi
rapuh dan lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap.
Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan,
dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.Individu terlengkap, LB1,
diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000
tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta
beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan
13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material
genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu
disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah
bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua
daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit
dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk
dilakukan.
2) Ciri-ciri Kontroversi
Salinan tengkorak H. floresiensis
“LB1″ dibandingkan dengan tengkorak manusia yang terkena mikrosefali yang
pernah hidup di Pulau Kreta.
Pendapat bahwa fosil ini berasal
dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat
dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan
temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores,
yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar
lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali
(“kepala kecil”). Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang
manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan
termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di
Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak
kecil.
Perdebatan yang terjadi sempat
memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di sekitarnya
dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007),
lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para
ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan
pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut
menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan
merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap
tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil
penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens
(manusia modern) maupun manusia Neandertal.
Dua publikasi pada tahun 2009
memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H. sapiens dan
berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di
Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik
normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri
ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus
dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali. Hasil
analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian
tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia
modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di
Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H.
floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan
lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance.
Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan
kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
3) Perbandingan tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens
Hobbit Flores, Species Baru Hominin.
Homo floresiensis, sering disebut juga dengan hobbit Flores, masih terus
berlangsung. Selama ini ada dua arus pendapat. Pertama, yang menganggap Homo
floresiensis sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, pendapat
ini dimotori oleh para peneliti dari Australia, seperti antropolog Peter Brown,
Michael Morwood, dan para koleganya. Pendapat kedua mengatakan, Homo
floresiensis bukan merupakan spesies baru, tetapi merupakan bagian dari spesies
manusia modern dari bangsa Homo erectus yang menderita sindroma kekerdilan dan
penyakit microchepaly, –penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan
ukuran tubuh, pendapat ini dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya
dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dengan menggunakan metode penelitian
analisa statistik terhadap kerangka fosil yang ditemukan, para peneliti
meyakini Homo floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari manusia kuno,
atau hobbit, yang bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang terkena
penyakit sehingga tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis.
Sehingga Homo floresiensis merupakan generasi manusia yang belum sempurna jika
dibandingkan dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia sempurna Homo
sapiens yang kini mendiami bumi. Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru
akan dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical
Society, pada edisi bulan Desember mendatang. Fosil Homo florensiensis pertama
kali ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti Australia dan
Indonesia, di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.
Dari hasil rekonstruksi diketahui
fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang memiliki tubuh mini, volume otak
kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa manusia kuno. Dari uji karbon
terhadap fosil temuan, spesies ini diperkirakan hidup di Flores sekitar 18.000
tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri film Lord of The Ring, manusia hominin
ini disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil. Para peneliti dari Universitas
Medis Stony Brook yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad melakukan
penelitian terhadap kerangka fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan
yang diberi code LB1 dan diberi nama penelitian ‘Little Lady of Flores’ atau
‘Flo’, menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil evolusi hobbit.
Penelitian meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan
telapak kaki, yang dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan
lainnya. Hasil penelitian menunjukkan, kapasitas otak LB1 diperkirakan hanya
sekitar 400 cm saja, yang sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau Siamang
berkaki dua di Afrika. Ukuran tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis,
juga lebih primitif dari ukuran fosil manusia modern normal yang ditemukan
daerah dimanapun.
Temuan fosil Homo floresiensis
relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat melakukan rekonstruksi sosoknya,
yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia modern. Tulang paha dan tulang
betisnya jauh lebih pendek daripada yang dimiliki manusia modern, bahkan jika
dibandingkan dengan temuan fosil manusia kerdil serupa di Afrika Tengah, Afrika
Selatan, dan manusia kerdil negritto di Kepulauan Andaman dan Filipina.
Sehingga para peneliti berspekulasi ini merupakan bagian dari sebuah rantai
evolusi dari bangsa hominid, yang menyebar di berbagai lokasi dunia pada masa
lalu. “Sulit dipercaya proses evolusi dipengaruhi juga dengan kemampuan gerak
agar lebih ekonomis, “spesies ini mengembangkan paha dan kaki yang lebih
pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif pada waktu itu.”
Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi
yang dia kembangkan, menunjukkan rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106
cm, jauh lebih pendek dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil yang
rata-rata memiliki tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1,
juga jauh berbeda dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia
Tenggara maupun Afrika, baik pada tinggi maupun ukuran tubuh.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN :
Penemuan manusia purba diawali
dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat yang diyakini terdapat fosil-fosil
manusia purba. Di Negara Indonesia sendiri telah banyak ditemuakan berbagai
macam fosil manusia purba seperti di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fosil
–fosil tersebut terbagi atas tiga jenis yaitu Megantruphus, pithechantripus,
dan Homo dengan berbagai macam subjenis. Di daerah Nusa Tenggara ditemukan pula
jenis baru manusia purba yang telah berevolusi karena terkena penyakit gangguan
pertumbuhan yang disebut mikrosefali (“kepala kecil”). Penemuan –penemuan
tersebut menambah pengetahuan terutama di bidang ilmu sejarah sekarang ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Organisasi.Org Komunitas &
Perpustakaan Online Indonesia
http://berita.balihita.com/wp-content/uploads/2010/03/Sejarah-Penemuan-Fosil-Manusia-Purba-Manusia-Kera-Manusia-Modern-Teori-Perkembangan-Evolusi-Antar-Waktu-Arkeologi-Biologi.jpg http://www.tempointeraktif.com
Wikipedia.com
http://1.bp.blogspot.com/_fvNIDfAGps/S0NlFM1jYEI/AAAAAAAAAbg/Ov_HssRmMaE/s320/homofloresiensis.jp
0 komentar:
Posting Komentar